PENGUNJUNG

Rabu, 27 Oktober 2010

MEMBANGUN KEKUATAN UDARA

Beberapa waktu yang lalu, ketika saya menjemput kakak ipar di home base TNI-AU, tepatnya di DAAU Lanud Adi, secara tidak sengaja mata ini membaca serangkaian kata yang tertulis di atas atap hanggar, yang terletak di sisi sebelah selatan landasan pacu.....kalau tidak salah bunyinya adalah : " TO BE NUMBER ONE AIR FORCE IN THE WORLD ". Sungguh tulisan yang sangat bermakna, dan menggugah semangat,  betapa tidak, pertama, tulisan tersebut berposisi tepat di atas hanggar yang mana disanalah kawah candradimukanya para calon gatotkaca udara Indonesia di didik dan digembleng, utk dipersiapkan menjadi penerbang-penerbang tangguh dan jempolan, dari aspek psikologis tulisan tersebut pasti akan memacu semangat para calon-calon pilot tersebut untuk berlomba menjadi yang terbaik, kedua, sungguh suatu misi yang luar biasa hebat, cita-cita yang dahsyat yang dicanangkan oleh para petinggi TNI-AU.

Tidak berlebihan saya kira cita-cita tersebut, mengingat Bangsa kita ini sarat dengan SDM yang tangguh, tengok saja pada sesi-sesi latsama dengan Angkata Udara negara lain, pada Elang Malindo( Latihan bersama TNI-AU dengan Tentera Udara Diraja Malaysia ) yang baru-baru ini di gelar, ternyata pada satu sesi hal kecakapan basic bagi para fighter yaitu menembakkan roket Air to ground, kemampuan para pilot tempur kita jauh diatas para pilot negeri jiran tersebut, indikasinya sangat gampang, yakni target yang hancur karena bidikan para pilot tempur kita nyaris sempurna, alias nyaris 100 %, sedang mereka masih berkisar 60 %an.

Untuk kemampuan manuver tempur, para fighter kita juga tidak kalah dengan para fighter dari negara paman sam sekalipun,  kalau tidak boleh disebut bisa mengimbangi atau bisa mengatasinya. Fakta ini terungkap saat simulasi dogfight antara penerbang kedua negara, di wilayah udara Madiun dan sekitarnya, baik skenario1 lawan 1 atau 2 lawan 1, dengan pesawat setipe maupun beda tipe,....hasilnya wow..cukup mencengangkan, skor 4 : 2 untuk fighter kita. Mengalahkah mereka ?, saya jamin tidak, karena ini masalah gengsi dan harga diri, lagi pula dalam skenario tersebut masing-masing lawan dan kawan saling dirahasiakan, termasuk posisi dimana harus terjadi dogfight, sama sekali mereka tidak tahu, maka mutlak dari simulasi ini, mereka memang harus terbang dengan segenap kemampuan manuver tempurnya, bagaimana kecerdikan mereka mengolah piranti elektronik yang dipunyai  dan tertempel pada masing-masing tunggangan mereka, sebagai kepanjangan tangan dan mata mereka.

Itu beberapa fakta, yang seharusnya menjadikan mata para pengambil keputusan untuk melek, karena fakta juga Air Power kita masih memprihatinkan jika dilihat dari sudut alutsistanya, memasuki usianya yang ke 65, ternyata Indonesia masih harus banyak belajar, termasuk dalam soal pembangunan Kekuatan Udara kita.Tidak saja kesulitan dalam pengadaan peralatan baru, untuk sekedar bisa mengoperasikan apa yang sudah ada saja rasanya masih megap-megap, sehingga untuk mencapai kekuatan tempur minimal saja sulitnya minta ampun. Hal yang cukup membuat miris kalau ini dikaitkan dalam kontek kemampuan  dalam Pertahanan dan Keamanan.

Masalah Keuangan negara juga merupakan masalah tersendiri dalam usaha pembagunan Kekuatan Udara kita. Tetapi meskipun ada uang sekalipun, kita juga  masih dibayang-bayangi embargo, Amerika dan sekutu-sekutu baratnya memang sangat gampang menerapkan embargo, maupun larangan alat perang yang datangnya dari mereka jika digunakan untuk operasi militer, contohnya skadron HAWK kita, dilarang oleh Inggris sebagai produsen pesawat HAWK tersebut untuk terlibat dalam operasi militer di Aceh waktu itu. Aneh memang, lantas untuk apa burung besi itu kita beli kalau tidak boleh dipakai untuk operasi militer ?

Padahal dulu, jaman presiden Soekarno saat terjadi insiden Allan Pope, dengan diplomasi beliau yang tegas dan cantik, Indonesia dapat kompensasi berupa persenjataan untuk 20 batalion dan sejumlah pesawat Hercules ( Karena saat itu kekuatan Udara kita sangat diperhitungkan di belahan bumi bagian selatan ).

Maka tepatlah kiranya saat presiden Megawati, mulai mengalihkan pandangan ke timur ( Rusia ), untuk pembangunan kembali kekuatan udara kita, meski dalam perkembangannya terjadi perdebatan kontroversi yang lumayan panjang,baik di internal maupun eksternal ( baca : Kasus hornet yang nyelonong di Bawean disebut-sebut sebagai salah satu reaksi eksternal yaitu protes Amerika atas rencana pembelian sukhoi dari Rusia ),  meskipun akhirnya sekarang kita sudah mempunyai 1 skadron sukhoi ( rencana akan terus di kembangkan menjadi minimal 2 skadron sukhoi ).
Disisi lain, para anggota legislatif kita tidak melihat permasalahan pertahanan yang ada secara obyektif, karena dalam perkembangannya, masih juga muncul pertanyaan seperti " Apa artinya membeli jet tempur kalau tanggung jumlahnya ?" atau Mengapa kita harus beli pesawat tempur, bukan pesawat anti pemberontakan       ( counter insurgency atau co-in ), atau pesawat angkut pasukan, atau helikopter ? Jujur saja kalau dananya ada, semua jenis pesawat tersebut di atas sebenarnya kita dibutuhkan. Namun karena keterbatasan dana, justru kita lebih membutuhkan pesawat tempur, karena memang diperlukan tidak saja untuk pemukul dan penangkal serangan musuh, tetapi juga sebagai kekuatan penggetar, yang akan mengiringi langkah diplomasi luar negeri kita.Apalagi postur kekuatan udara sebuah negara hanya diukur dari berapa banyak dan seberapa modern pesawat tempur yang dimilikinya.

Sensitif dan defensif

Akuisisi atau prosedur membeli pesawat tempur merupakan soal yang sensitif, bisa-bisa merangsang untuk terjadi perlombaan senjata di suatu kawasan, sehingga jual belinya sangat tergantung dengan kedekatan politik antara pembeli dan penjualnya. Dengan kata lain hubungan diplomatik pembeli dan penjual harus baik sebelum bisa dilakukan deal pembelian pesawat.

Sebagai contoh : dalam proyek pengembangan jet mutakhir, AS tidak pernah ragu untuk menggandeng para sekutunya, baik itu Inggris, Australia, negara-negara NATO, bahkan mungkin dengan Singapura dan Malaysia untuk ambil bagian dalam pengembangan jet mutakhir ini. Lha wong dengan sekutu barunya saja, seperti Polandia misalnya, AS tidak ragu-ragu untuk menjual 4 skadron F-16 nya, tetapi bagaimana dengan Indonesia ?

Akhirnya ditengah dilematis seperti ini, Indonesia sebaiknya mengambil langkah tetap harus melakukan perbaikan, meski harus membeli dalam jumlah terbatas, sesuai kemampuan finansial negara, dan berani untuk beralih dari alutsista barat, minimal untuk menjagai estafet teknologi dan menjagai skill terbang para pilot kita, minimalis memang, tetapi ini pilihan yang harus kita ambil.

Lebih jauh, program pembangunan kekuatan udara sebaiknya diarahkan ke arah pertahanan saja dulu, seperti perluasan jaringan RADAR, dan sarana pendukungnya, rudal - rudal anti serangan udara misalnya. Sekali lagi dalam situasi sulit secara finasial dan ketiadaan hubungan harmonis antara kita dengan produsen alutsista, yang dapat kita peroleh untuk pembangunan kekuatan udara masih jauh dari ideal. Harapan selalu ada, bukankah kita sudah MoU dengan Korea dalam proyek pembuatan pesawat tempur, selain kita dapat kompensasi 50 buah pesawat tempur, yang paling penting adalah terjadinya transfer teknologi, yang merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya, selain jarang negara yang dengan mudah memberikan transfer teknologi seperti ini. Sebuah harapan sudah terhampar dihadapan kita semua untuk membangun kembali TNI-AU kita, agar menjadi Angkatan Udara Terhebat di dunia......sebagaimana cita-cita para petinggi TNI-AU, untuk menjadikan TNI-AU  The First Class Air Force in The World......Semoga.

Dengan demikian, hanya dengan menjagai kesinambungan semangat juang dalam melanjutkan darma baktinya terhadap bangsa dan negaralah yang  membuat para pilot dan personil TNI-AU lainnya, tidak akan pernah menyerah dengan keadaan seperti apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar